Perangkap Kemewahan

  





orangtuasekolah.id -- Selama 2,5 juta tahun manusia hidup berpindah dan mencari makanan dengan cara mengumpulkan tumbuhan dan berburu hewan liar. Gaya hidup berburu tumbuhan dan hewan liar itu menyediakan cukup makanan yang beragam dan mendukung dunia struktur sosial, serta menyulap beban kehidupan menjadi jauh lebih ringan. Dengan dalih ‘mendapatkan kehidupan yang lebih baik’, semua itu berubah sekitar 10.000 tahun silam, ketika manusia mulai mencurahkan nyaris seluruh waktu dan upaya dari terbit matahari sampai terbenamnya untuk menebar biji, mengangkat ember untuk menyiram tanaman, mencabuti gulma dari ladang, dan menggiring domba ke padang subur. Terjadilah suatu revolusi cara hidup manusia, yaitu revolusi pertanian.

Revolusi pertanian yang dianggap sebuah terobosan, justru menjerumuskan manusia kepada kehidupan yang lebih berat dan kalah memuaskan dibanding kehidupan manusia dengan berburu tumbuhan dan hewan liar yang mana dapat menikmati beraneka ragam jenis makanan bergizi yang bervariasi setiap harinya serta menghadapi lebih sedikit bahaya kelaparan dan penyakit. Keuntungan lain mereka juga memiliki waktu santai lebih banyak karena hanya butuh beberapa jam saja dalam sehari untuk mendapatkan makanan mewah saat berburu. Revolusi pertanian jelas memperbesar jumlah total makanan yang bisa dimanfaatkan umat manusia, namun makanan berlebih itu bukan berarti gizi yang lebih baik atau waktu santai yang lebih banyak, justru penelitian kerangka-kerangka purba menunjukkan bahwa peralihan ke pertanian membawa berbagai penyakit seperti pergeseran tulang belakang, radang sendi dan hernia, karena tubuh manusia tidak beradaptasi untuk pekerjaan pertanian, tubuh manusia beradaptasi untuk memanjat pohon apel atau mengejar hewan buruan.

Dibanyak daerah, manusia hanya mengandalkan satu makanan pokok seperti gandum, kentang, atau nasi. Makanan pokok telah membuat manusia yakin untuk menukar kehidupan nikmat dengan keadaan yang lebih sengsara. Mereka berfikir ‘sedikit bekerja lebih keras untuk mendapatkan kenikmatan yang lebih baik’. Padahal makanan pokok tersebut tidak menawarkan sesuatu yang lebih baik, bahkan diet yang didasari pada padi-padian itu miskin mineral dan vitamin, sulit dicerna, dan benar benar buruk bagi gigi dan gusi kita.

Bagian pertama rencana berjalan mulus. Manusia bekerja lebih keras untuk mendapatkan dan menyimpan jumlah makanan yang lebih banyak. Namun manusia tidak menyadari dengan perubahan hidup dari nomaden menjadi menetap karena dituntut mengurus pertanian, jumlah anak-pun kian meningkat, jumlah makanan pokok yang mereka bilang ekstra tadi-pun mesti dibagi bagi diantara lebih banyak anak. Konsumsi makanan dari satu jenis varian tumbuhan saja juga memperlemah sistem kekebalan tubuh, serta pemukiman permanen yang berpotensi menjadi sarang penyakit menular, belum lagi ketergantungan manusia terhadap sumber makanan tunggal membuat mereka rentan terhadap bahaya kekeringan dan kekurangan gizi.

Mengapa manusia membuat salah perhitungan naas seperti itu? Mengapa mereka tidak meninggalkan saja pertanian ketika rencana itu malah menjadi senjata makan tuan, bahkan tidak ada yang ingat bahwa manusia pernah hidup dengan cara yang berbeda. Masalahnya adalah karena pertumbuhan populasi manusia di bumi, serta kesediaan bahan makanan yang terbatas bagi jumlah besar penduduk bumi menyebabkan tidak ada jalan kembali bagi umat manusia.

Upaya mencapai kehidupan yang lebih mudah menimbulkan lebih banyak kesusahan, dan bukan untuk kali terakhir. Itu terjadi juga pada kita saat ini. berapa banyak pemuda lulusan perguruan tinggi yang mengambil pekerjaan penuh tuntutan di perusahaan ternama, bersumpah bahwa mereka akan bekerja lebih keras demi memperoleh uang sebagai alat tukar kenyamanan dan kemewahan, ditambah beban hutang KPR yang besar, anak-anak yang harus disekolahkan, rumah di pinggiran kota yang mengharuskan mereka memliki setidaknya satu mobil, ataupun liburan mewah untuk keluarga. Mereka akan melipatgandakan upaya dan terus menghambakan diri.

Kemewahan cenderung menjadi kebutuhan dan melahirkan kewajiban-kewajiban. Begitu seseorang terbiasa dengan suatu kemewahan, maka itu akan diterima sebagai suatu kewajaran, lalu mulai mengandalkan dan akhirnya mencapai satu titik dimana manusia tidak bisa hidup tanpa kemewahan. Selama beberapa dasawarsa manusia menciptakan berbagai peralatan penghemat waktu yang dimaksud untuk membuat hidup lebih santai, mesin cuci, telepon genggam, komputer, penghisap debu, dan surat elektronik. Tadinya butuh waktu lama untuk mengirim dan menerima surat melalui pos, berbeda dengan saat ini, manusia hanya perlu beberapa menit bahkan detik untuk mengirimkan sebuah surat. Namun benarkah hidup kita jauh lebih santai dan menghemat waktu?

Sayangnya tidak, dulu manusia menulis surat hanya ketika ada hal penting untuk disampaikan, bukan menulis hal pertama yang terlintas dalam benak. Dulu surat yang dikirim dipertimbangkan dengan baik, pun saat menerima balasan. Setiap orang hanya menerima satu atau dua surat dan tidak ada paksaan untuk segera membalas. Bagaimana dengan yang terjadi saat ini? Kita menerima lusinan surat elektronik setiap bulan dan semuanya berharap cepat dibalas. Hadirnya mesin cuci ternyata juga meningkatkan jumlah puluhan potong pakaian yang harus kita bersihkan, dibanding nenek moyang kita. Kita pikir kita menghemat waktu, namun kita malah terus mempercepat langkah kehidupan sampai sepuluh kali lipat laju awalnya dan menjadikan hari-hari kita diwarnai lebih banyak kecemasan dan kegelisahan.

Sesekali kaum luddite (anti teknologi baru) yang tersisa, menolak membuka akun surat elektronik, sama seperti ribuan tahun lalu saat sejumlah kawanan manusia menolak ikut bertani dan karena itu mereka lolos dari perangkap kemewahan. Ariene guZeL

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.